Tuesday, May 17, 2005

Kalau Ingin Kaya Ngapain Sekolah !?

Berikut artikel yang dikirim:
22 September 2003

Untuk jadi seorang entrepreneur sejati, tidak perlu IP tinggi, ijazah,
apalagi modal uang. "Saat yang tepat itu justru saat kita

tidak punya apa-apa. Pakai ilmu street smart saja," ungkap Purdi E.
Chandra, Dirut Yayasan Primagama. Menurutnya,

kemampuan otak kanan yang kreatif dan inovatif saja sudah memadai.
Banyak orang ragu berbisnis cuma gara-gara terlalu

pintar. Sebaliknya, orang yang oleh guru-guru formal dianggap bodoh
karena nilainya jelek, justru melejit jadi wirausahawan

sukses. "Masalahnya jika orang terlalu tahu risikonya, terlalu banyak
berhitung, dia malah tidak akan berani buka usaha,"

tambah 'konglomerat bimbingan tes' itu.
Purdi yang lahir di Lampung 9 September 1959 memang jadi model wirausaha
jalanan' plus modal nekad. la tinggalkan

kuliahnya di empat fakultas di UGM dan IKIP Yogyakarta. Lalu dengan
modal Rp.300 ribu ia dirikan lembaga bimbingan tes

Primagama 10 Maret 1982 di Yogyakarta. Sebuah peluang bisnis potensial
yang kala itu
tidak banyak dilirik orang. la sukses membuat Primagama beromset hampir
70 milyar per tahun, dengan 200 outlet di lebih

dari 106 kota. la dirikan IMKI,Restoran Sari Reja, Promarket, AMIKOM,
Entrepreneur University,
dan terakhir Sekolah Tinggi Psikologi di Yogyakarta.Grup Primagama pun
merambah bidang radio,penerbitan, jasa wisata, ritel,

dll. Semua diawalkan dari keberanian mengambil risiko.Kini Purdi lebih
banyak lagi 'berdakwah'tentang entrepreneurship. Bagi

Purdi,entrepreneur sukses pastilah bisa menciptakan banyak lapangan
kerja. Namun, itu saja tidak cukup berarti bagi bangsa

ini. "Saya memimpikan bisa melahirkan banyak lagi pengusaha-pengusaha.
Dengan demikian, makin banyak pula lapangan kerja

diciptakan. Itulah Mega Entrepreneur," ungkap Purdi kepada Edy Zaqeus
dan David S. Simatupang dari Majalah

BERWIRAUSAHA. Berikut petikan wawancara yang berlangsung di kantor
cabang Primagama Jakarta.
Bagaimana semangat wirausaha masyarakat kita?
Mungkin begini. Salahnya pendidikan kita itu, kebanyakan orang lulus
sarjana baru cari kerja. Jadi pengusaha itu mungkin malah

orang-orang yang kepepet. Yang tidak diterima di mana-mana, baru dia
sadar dan bikin usaha sendiri. Mestinya, kesadaran

seperti ini bisa untuk orang-orang yang tidak kepepet. Alasannya, kalau
mau usaha harus ada modal, punya ketrampilan.

Padahal tidak harus begitu. Saat yang tepat itu justru saat kita tidak
punya apa-apa. Ibaratnya kalau kita punya ijazah pun,

tidak usah dipikirin. Saya dulu tak tergantung dengan selembar kertas
itu. Sekarang mau dijaminkan di bank juga tidak bisa.

Hanya buat senang-senang saja kalau sudah sarjana.


Memang saya lihat pendidikan kita itu dari otak kiri saja. Padahal kalau
kita garap yang kanan, porsinya banyak, maka otomatis

otak kirinya naik. Tapi kalau kita banyakin kiri, kanan ndak ikut naik.
Kanan itu adalah praktek. Saya bilang street smart.

Cerdas di lapangan, di jalanan. Orang yang akademik, sekolahnya pintar,
IP atau nilai tinggi, dia tidak berani menentang teori.

Jadi robotlah. Kalau di situ jadi topeng monyet. Dia tidak berani
membuat kreasi sendiri. Padahal hidup dia itu bukan di masa

lalu. Hidup dia itu kan di masa datang, dan itu serba berubah cepat.
Tidak ada yang sama dengan teori yang dia pelajari. Teori

itu kan hasil temuan. Kenapa kita tidak bisa menemukan sendiri? Saya
punya contoh, manajemen di Primagama, yang tidak ada

di teori. Kalau pun ada di teori pasti disalah-salahkan.

Apa itu?
Di Primagama, suami-istri bekerja dalam satu kantor itu malah kita
anjurkan. Di lain tempat dan di teori itu ndak boleh! Tapi

saya praktekkan...ternyata jalan, bagus. Saya melihat, mereka masing-masing
bisa saling mengontrol. Maka, menantang teori itu

yang utama. Saya malah bisa menaikkan omset Primagama 60%. Contohnya
lagi, iklan Primagama yang pakai aktor Rano

Karno. Menurut orang kampus, dan pernah dibahas di sana, itu ndak bener!
Menurut teori ndak benar. Tapi nyatanya, bagus

hasilnya? Saya dulu pernah pakai Sarlito (pakar psikologi dan pendidikan:rec),
malah ndak ada hasilnya... walau dia doktor atau

apa. Jadi street smart itu... Apa artinya street smart?
Cerdas di jalanan. Ada academic smart atau school smart. Tapi street
smart itu cerdas dengan praktek. Jadi begini, kalau kita

punya pengetahuan dengan benar, pengetahuan itu kan akademik. Kita tidak
strong, gugur! Kita tidak akan bisa. Kita tidak akan

bisa benar. Waktu SD itu ada bacaanbacaan begini; "Ibu pergi ke pasar
membeli sayur." Kok tidak yang menjual sayur saja?

Kok kata-katanya selalu membeli, bukan menjual? Teryata setelah saya
urut-urut, yang nulis itu guru. Coba kalau isinya diubah

menjadi menjual, itu akan lain.

Kenapa tertarik menonjolkan sisi menjualnya?
Kalau saya bertransaksi, itu nilai tambah. Dalam transaksi, duit paling
banyak itu kan pengusahanya? Dan paling banyak milik

pengusaha. Coba kalau misalnya yang satu membeli saja. Akan terbatas
transaksinya. Sehingga kalau memang harus banyak

pengusahanya, ya untuk menjual.

Setuju dengan pemikiran Kiyosaki "If you want to be rich and happy,
don't go to school"?

Kalau saya if you want to be rich and happy, ya.... Kalau ingin kaya,
ngapain sekolah? Kalau di sekolah tidak akan happy dan

kaya. Pendidikan kita tidak bikin happy, malah bikin stres anak. Porsi
mainnya kurang. Sejak Taman Kanak-kanak sudah

dipaksa main otak kiri. Mungkin
itu karena dari mentrinya sampai orang-orang tuanya itu otak kiri semua,
kan? Dikatakan figur yang bagus itu yang profesor,

yang doktor. Padahal kalau kita pilah, yang pintar sekolah memang jadi
dosen, jadi dokter. Yang sedang-sedang saja jadi

manajer. Tapi yang bodo-bodo sekolahnya malah jadi pengusaha. Penelitian
di Harvard begitu. Penyikapan guru terhadap anak

yang bodo kok divonis tidak punya masa depan? Mungkin dia berani,
kreatif, bisa menemukan apa yang tidak ditemukan oleh

anak-anak pintar. Nah, pendidikan kita itu semua mau dijadikan ilmuwan.
Seolah ngejar otak kiri saja, ngejar school smart saja.

Apa yang harus dilakukan untuk membongkar sistem seperti itu?
Memang berat karena dari dulu juga begitu. Maka harus lewat luar,
kegiatan-kegiatan ekstra. Maka saya usulkan pendidikan

kita dibuat dua sistem; sistem ijazah dan sistem tanpa ijazah. Kalau
sekolah tanpa ijazah, orang akan cenderung cari ketrampilan

dari praktek yang kelihatan. Yang pakai ijazah untuk yang mau jadi dosen,
jadi dokter, jadi ilmuwan. Kalau pelajaran kimia yang

pakai ijazah, ya ilmuwan itulah. Kalau kimia yang tidak pakai ijazah,
pilihannya ya bikin deterjen, bikin sirup, bikin apa saja

yang ada manfaatnya. Kalau semua harus belajar kimia, padahal kita tidak
tertarik, berarti dipaksa dan tidak happy jad i nya.

Kalau di tataran konseptual, apa yang mesti dilakukan?
Saya kira Dikbud itu merasa bahwa yang menentukan masa depan Indonesia
itu dia. Bikin kurikulum, walaupun sumbernya

dari masyarakat, tapi sering terlambat. Kurikulum tahun lalu baru
dipakai sekarang. Lebih cepat di luar, kan? Maka kalau saya,

pendidikan itu tidak usah diatur. Perguruan Tinggi siapa pun boleh bikin.
Dan itu masyarakat yang menilai. Hukum pasar! Titel

MBA atau apa dilarang, kenapa? Alamiah aja. Nanti kalau kebanjiran itu
orang ndak mau pakai, kan ndak masalah? Kalau

banyak manajer belajar ilmu untuk mendapatkan MBA, itu kan bagus? Dalam
pendidikan itu sebenarnya mereka dagang. Kalau

model-model pendidikan itu masyarakat yang mengembangkan, mungkin baru
bagus. Karena pas dengan zaman itu. Misalnya

Mc Donald mau bikin Universitas Mc Donald, kenapa tidak?

Bagaimana dengan Entrepreneur University yang Anda dirikan?
Sebagai entrepreneur, saya punya visi Mega Entrepreneur. Artinya
bagaimana seorang pengusaha bisa menciptakan pengusaha

lainnya. Kalau pengusaha bisa menciptakan lapangan kerja, itu sudah
biasa. Yang saya kejar adalah bagaimana saya bisa

menciptakan banyak pengusaha. Dulu visi saya memang menciptakan lapangan
kerja sebanyak-banyaknya. Kalau seperti itu

kan lama. Mungkin hanya ribuan lapangan kerja. Tapi kalau bisa
menciptakan banyak pengusaha, lapangan kerja yang tercipta

lebih banyak lagi.
Karyawan saya pun saya usahakan bisa jadi pengusaha. Kayak manajer-manajer
saya, semua sudah punya usaha di luar. Saya

ditentang oleh Renald Kasali. Katanya menurut teori itu tidak bisa. 'Orang
kerja kok diajak merangkap jadi pengusaha, itu ndak

bisa!'. Saya praktekkan ternyata bisa. Manajer saya punya perusahaan
mebel. Menurut Kiyosaki, di sini dia sebagai employee,

di luar dia sebagai business owner karena yang mengelola orang lain. Ada
manajer saya yang buka bengkel motor. Sopir saya

punya kenteng mobil. Sopir saya yang lain punya bisnis jual bell
handphone. Karyawan-karyawan itu mau jadi manajer semua

ndak mungkin, kan? Harapan paling besar saya, ya mereka jadi pengusaha.

Sejak kapan Entrepreneur University berjalan?
Entrepreneur University (EU) berjalan baru setahun. Sebelumnya kita
sudah sering adakan pelatihan di mana-mana. Tapi cuma

beberapa hari, lalu selesai tidak ada follow up. Sekarang lebih jelas,
kita ada follow up. Misalnya kita adakan tiga bulan, setelah

itu ada klub entrepreneur. Yang itu bisa dilakukan lewat internet,
pertemuan-pertemuan, dan juga konsultasi seperti tadi.Di EU

diutamakan yang indeks prestasinya (IP) rendah. Memang pernah ada yang
protes, orang mau masuk tapi IP-nya tinggi, dia jadi

minder. Tapi memang saya lebih mudah mengajar orang yang tidak pintar.
Kalau otak kiri sudah kuat, susah berubahnya. Misal

dia kuliah di akuntansi, yang feasible tidak feasible, udah...ndak
berani-berani dia. Usaha itu bukan perhitungan sebelumnya.

Hitungan yang terjadi, itulah usaha. Banyak yang terjadi kita tidak tahu
dan tidak kita pikirkan sebelumnya. Saya di Primagama

dulu kalau dipikir tidak rasional. Modal saya cuma Rp.300 ribu saja.
Sekarang asetnya sudah hampir Rp.100 milyar, kan?

Rasionalnya di mana?
Tadi seorang direksi bank yang ingin membuat usaha. Seperti dia,
dihitung-hitung terus, selalu tidak positif. Akhirnya tidak

berani buka usaha. Saya bilang, "jangan dihitung terus!" Usaha itu
dibuka, baru dihitung. Ini street smart. Kalau dihitung baru

dibuka, ndak akan bukabuka usaha. Makanya, yang membuat orang takut itu
bukan sisi gelap, tapi
justru sisi terang. Karena terang itu tahu hitung-hitungannya, tahu
risikonya gedhe, jadi takut. Kalau gelap, tidak tahu apa-apa,

usaha itu tidak takut. Dihitung atau tidak dihitung itu sama saja kok.

Padahal entrepreneur harus berani ambil risiko...
Itulah, ambil risiko itu berarti harus gelap. Maksudnya jangan terlalu
banyak tahu. Setelah jalan, kita pakai ilmu street smart

tadi. Street smart itu yang melahirkan kecerdasan entrepreneur yang
dibutuhkan untuk pemula usaha. Isi kecerdasan

entrepreneur itu ya kecerdasan emosional, spiritual, dan basisnya di
otak kanan.

Bagaimana cara Anda merealisasikan gagasan Mega Entrepreneur?
EU ini saya yang buka dan pelatihannya saya yang mengajar sendiri. Saya
bukan cari untunglah, tapi semacam aktulisasilah

buat saya. Karena saya ingin jadi Mega Entrepreneur tadi. Sehingga saya
belabelain, ndak harus untung. Kalau nombok pun

saya mau untuk memberikan dakwah tentang entrepreneurship ini. Itu yang
saya lakukan, dan sudah dua angkatan EU di lima

kota. Perkembangan pesertanya cukup positif. Yang sama sekali tidak
berani berusaha, kini jadi berani.

Bagaimana tren kewirausahaan ke depan?
Saya kira itu suatu keharusan. Kalau negara ini mau maju, harus
banyak pengusahanya. Kita belum ada kementrian yang khusus mengurusi
wirausaha. Di Indonesia banyak bisnis yang bisa

dikembangkan menjadi franchise dan tidak harus yang mahal. Di Malaysia
sudah ada kementriannya, dan mentrinya mendorong

mereka yang mau usaha franchise dsb.

Bagaimana entrepreneur yang ideal itu?
Ukuran ideal saya adalah dari banyaknya lapangan kerja yang diciptakan.
Pengusaha yang bisa melahirkan

pengusaha-pengusaha baru. Bisnisnya kalau bisa yang baikbaiklah. Saya
suka mengurusi bisnis yang langsung ke pasar. Yang

menilai dan menentukan bisnis saya ya pasar. Saya ndak model dengan
bisnis lobi-lobi yang harus berhubungan dengan

pemerintah.

Pernah mengalami pencerahan selama menjadi entrepreneur?
Saya mengembangkan sisi spiritual melalui dzikir atau meditasi. Bisnis
itu, kalau bisa ya melibatkan yang "di atas". Tidak bisa

berjalan dengan diri kita sendiri. Maka saya kembangkan kecerdasan
spiritual. Kalau menggunakan intuisi saja, hanya bisa

menunjukkan sesuatu tujuan itu seperti apa.... Tapi kalau dzikir,
melibatkan Tuhan, kuncinya justru membuat tujuan itu terjadi.

Misalnya diramal orang kita tidak hoki. Dengan dzikir itu bisa jadi hoki.
Yang tidak baik jadi baik. Arah negatif bisa jadi

positif.[]
Maka, menantang teori itu yang utama!
Makanya,yang membuat orang takut itu bukan sisi gelap, tapi justru sisi
terang.

Bangkit
Wujudkanlah mimpi anda.kembangkanlah penglihatan pemikiranyang selama
ini terpendam,berikanlah arti pada hidup yang

anda cintai ini. Semuanya berawal dari sebuah impian. Dunia dengan
segala isinya diciptakan Tuhan dari "impian-Nya".

Kisah-kisah keberhasilan para tokoh yang berhasil mengubah dunia,
bermula dari mimpi, seperti apa yang dilakukan Galiileo,

Thomas Alva Edison, Einstein, dan lain-lain. Bangunan-bangunan besar
seperti candi dan piramid juga dimulai dari impian.

Bahkan, majalah ini hingga akhirnya sampai ke tangan pembaca, juga
diawali dari impian.Bila demikian, tampaknya segala

sesuatu sangattah mungkin untuk diwujudkan. Masalahnya adalah kebanyakan
orang telah membuang jauh-jauh mimpi mereka

ke tempat sampah, atau merasa bahwa mimpi mereka merupakan hal yang
mustahil. Padahal, hampir semua mimpi bisa

diwujudkan dengan sedikit kecerdikan, sedikit keberanian serta dukungan
emosional. Sebagai ilustrasi, pertengahan tahun 70-an

Bill Gates bermimpi bahwa komputer akan tersedia di setiap rumah pada
suatu masa nanti; Akio Morita bermimpi is bisa

mendengarkan musik favoritnya sambil main tenis, tanpa harus mengganggu
tetangga kiri-kanan; atau Sosrodjoyo yang

bermimpi nantinya orang-orang akan memilih teh botol bikinan pabrik
daripada repot-repot menyeduhnya di rumah.
Tetapi perlu kiranya dibedakan antara "mendambakan" dan "memimpikan".
Mendambakan bersifat pasif dan menunggu, is

hanya merupakan selingan iseng tanpa otak, tanpa upaya untuk
mewujudkannya. Sedang memimpikan bersifat aktif dan berani

mengambil inisiatif. la didukung oleh rencana dan tindakan untuk
membuahkan hasil.
Tokoh-tokoh yang disebut di atas adalah contoh perbuatan memimpikan.
Mereka tidak sekadar beranganangan, melainkan

berupaya keras mewujudkan impiannya. Microsoft, Sony, dan Teh Sosro
adalah hasil nyata dari mimpi-mimpi mereka.
Singkatnya, penglihatan pikiran membuka pintu untuk mewujudkan impian
kita. Namun begitu pintu tersebut terbuka, harus

ada tindakan nyata berupa: disiplin, kebulatan tekad, kesabaran, dan
ketekunan bila kita ingin membuat impian tersebut menjadi

kenyataan.
Penglihatan Pikiran
Pada hakikatnya setiap insan memiliki dua jenis penglihatan: penglihatan
mata dan penglihatan pikiran. Penglihatan mata adalah

apa yang kita lihat ada secara fisik di sekeliling kita, misalnya: mobil,
gunung, pulpen atau teman-teman kita. Sebaliknya,

penglihatan pikiran adalah sebuah kekuatan untuk melihat bukan apa yang
ada secara fisik, tetapi apa yang bisa ada setelah

intelegensia manusia diterapkan. Penglihatan pikiran adalah kekuatan
untuk bermimpi.
Dr. David Schwartch, dalam The Magic of Thinking Success, yakin bahwa
perasaan kita yang paling tak ternilai harganya

adalah penglihatan pikiran. Penglihatan tersebut membentuk gambaran masa
depan yang kita harapkan -rumah yang kita

idamkan, hubungan keluarga yang kita dambakan, liburan yang akan kita
ambil, atau penghasilan yang akan kita nikmati kelak.

www.Entrepreneur-University.com

No comments: